
Simulasi Pungtungsura dan Desain Surat Suara Untuk Efektivitas Penyelenggaraan Pemilu 2024
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia melakukan simulasi pemungutan dan penghitungan suara pada penyederhanaan desain surat suara serta formulir Pemilu Tahun 2024, yang diselenggarakan KPU RI, Sabtu (20 November 2021) di Manado, Sulawesi Utara.
Anggota KPU RI Pramono Ubaid Tanthowi, seperti dilansir di fanspage facebook nya, Minggu (21 November 2021) menyatakan bahwa dalam simulasi tersebut, dibuat dua TPS (tempat pemungutan suara) dengan dua desain surat suara.
"Tiga surat suara (Pilpres + DPR RI, DPD, dan DPRD Prov + DPRD Kab/Kota) serta dua surat suara (Pilpres + DPR RI + DPRD Prov + DPRD Kab/Kota dan DPD RI)", kata Pramono.
Menurut Pramono, KPU ingin mencari desain paling tepat untuk mencapai beberapa tujuan sekaligus. Tujuan tersebut, antara lain:
1. Efisiensi. Jika surat suara semakin sedikit, juga kotak suaranya, maka anggaran utk pengadaan dan distribusi logistik makin kecil.
2. Meringankan beban. Dg jumlah surat suara semakin sedikit, maka tugas KPPS makin ringan dlm menghitung surat suara di satu TPS. Juga makin sedikit formulir yg diisi. Waktu penyelesaian tugas di TPS bisa lebih cepat. Potensi jatuhnya korban sakit/meninggal bisa dikurangi.
3. Memudahkan pemilih. Dg jumlah surat suara lebih sedikit, pemilih berkurang kebingungannya utk tentukan pilihan. Pada Pemilu 2019 lalu, dg 5 surat suara, maka surat suara tdk sah utk Pemilu DPD mencapai 19,2%. Itu tinggi sekali. Sebagian besar karena tdk dicoblos.
4. Memperkuat coattail effect. Dg menggabungkan surat suara (misalnya Pilpres dg Pemilu DPR RI), diharapkan semakin memperkuat coattail effect: pemilih terdorong memilih parpol sesuai dg capres yg diusung parpol tsb. Atau memilih capres yg diusung parpol pilihannya. Jadi Pasangan Capres-Cawapres terpilih mendapat dukungan mayoritas di parlemen. Sistem presidensiil semakin kuat.
5. Memperkecil split voting. Kebalikan dari coattail effect: dg menyatukan dua atau lebih surat suara, maka memperkecil terjadinya perbedaan pilihan utk jenis pemilu yg berdekatan. Selama ini banyak terjadi, misalnya, dlm Pemilu Legislatif seorang pemilih mencoblos Partai A utk DPR RI, Partai B untuk DPRD Prov, lalu Partai C utk DPRD Kab/Kota. Memang tdk ada yg salah. Tapi Party-ID, identifikasi seorang pemilih dg partai tertentu, mjd tdk jelas. Perilaku pemilih seperti itu dinamakan split voting.
"KPU masih akan melakukan dua simulasi lagi, yaitu di Denpasar dan Medan", ujar Pramono.(*)