Pendidikan Pemilih Berkelanjutan: Menguatkan Hak Politik Kelompok Marginal dan Rentan
Demokrasi adalah sistem pengambilan keputusan kolektif oleh warga negara yang memiliki hak suara yang sama. Sistem ini melibatkan berbagai persoalan publik, dan warga negara dapat memengaruhi keputusan tersebut (Robert Dahl). Indonesia telah menerapkan sistem demokrasi elektoral dengan proporsional terbuka sejak tahun 2004 melalui pemilihan umum (Pemilu). Pemilu yang demokratis tentu harus berpegang pada prinsip hak pilih universal, yaitu hak memilih atau memberikan suara bagi setiap orang yang memenuhi syarat sesuai peraturan perundang-undangan. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilu berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Dengan demikian, partisipasi pemilu merupakan hak konstitusional setiap warga negara. Untuk memenuhi hak tersebut, pemilu harus dilaksanakan secara inklusif. Pemilu inklusif adalah pemilu yang memastikan semua kelompok marginal dan rentan mendapatkan akses dan hak yang sama untuk berpartisipasi dalam setiap tahapan pemilu, baik sebagai pemilih maupun kandidat. Komnas HAM, dalam Standar Norma dan Pengaturan Nomor 12 tentang Hak Asasi Manusia dan Kelompok Rentan dalam Pemilihan Umum, menetapkan 18 kriteria kelompok rentan. Beberapa di antaranya relevan dengan kondisi Kabupaten Pesisir Selatan, yaitu pemilih pemula, lansia, perempuan, tenaga kesehatan dan pasien di rumah sakit, warga tahanan dan binaan pemasyarakatan, pemilih disabilitas, serta pekerja perkebunan sawit. Berbagai bentuk pelanggaran hak pilih masih sering dialami kelompok marginal dan rentan (Inklusi – Buku Saku Pemilu dan Pemilihan Inklusif). Misalnya, penyandang disabilitas tidak mengetahui adanya formulir pendamping pemilih sehingga harus didampingi oleh petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang dianggap dapat mengurangi kemandirian individu. Kemudian ketiadaan templat surat suara braille di tempat pemungutan suara (TPS) yang menyulitkan pemilih tunanetra, tidak tersedianya kursi prioritas untuk ibu hamil dan lansia, atau terlewatnya pendataan lansia yang tidak bisa meninggalkan tempat tidur juga merupakan kategori pelanggaran menurut Inklusi. Selanjutnya, perempuan buta huruf yang kesulitan mencoblos terutama pada pemilu legislatif, serta keterbatasan akses KTP-el bagi kelompok marginal dan rentan, merupakan beberapa contoh lain hal-hal yang menjadi hambatan. Dari sisi regulasi, berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi persoalan tersebut. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu telah mengatur tentang hak politik penyandang disabilitas. Dalam pasal 5 Undang-Undang ini menyebutkan bahwa penyandang disabilitas yang memenuhi syarat memiliki kesempatan yang sama sebagai pemilih, calon anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, DPRD, maupun sebagai penyelenggara pemilu. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK), seperti Putusan Nomor 102/PUU-VII/2009, juga memperkuat perlindungan hak pilih dengan memperbolehkan penggunaan KTP-el sebagai bukti pemilih. Penggunaan KTP-el ini kemudian diakomodasi dalam Peraturan KPU Nomor 25 Tahun 2023, bahkan peraturan ini juga mengatur penggunaan Surat Keterangan Perekaman KTP-el jika pemilih belum memiliki KTP-el pada hari pemungutan suara. Selain itu, Ketua KPPS diatur untuk dapat mendahulukan pemilih disabilitas, ibu hamil, atau lansia dengan persetujuan pemilih lain yang sedang mengantre. Dalam hal terjadi pemungutan suara ulang, kepada penyandang disabilitas yang dirawat di panti sosial atau panti rehabilitasi juga difasilitasi untuk menggunakan hak pilih di TPS selain tempat terdaftarnya. KPU RI juga menekankan bahwa pembuatan TPS wajib memperhatikan kemudahan akses bagi penyandang disabilitas, pengguna kursi roda, dan lansia. Kemudian bagi warga binaan di lembaga pemasyarakatan disediakan TPS khusus agar setiap warga binaan tetap dapat menggunakan hak pilihnya. Dalam pembentukan badan adhoc penyelenggara pemilu, KPU RI juga berupaya mengakomodasi penyandang disabilitas. Hal ini terlihat dalam Keputusan KPU RI Nomor 476 Tahun 2022 dan Keputusan KPU RI Nomor 638 Tahun 2024, yang menyebutkan bahwa penyandang disabilitas dapat menjadi PPK, PPS, KPPS, maupun Pantarlih sepanjang memenuhi syarat dan mampu melaksanakan tugas. KPU Kabupaten Pesisir Selatan secara konsisten berupaya agar ketentuan perlindungan hak pilih bagi kelompok marginal dan rentan dapat terlaksana. Contohnya adalah pelaksanaan sosialisasi Pemilihan Kepala Daerah Tahun 2024 dengan sasaran kelompok marginal dan rentan di seluruh kecamatan. Pada sosialisasi lainnya, KPU Kabupaten Pesisir Selatan mengundang khusus Pengurus dan Anggota Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kabupaten Pesisir Selatan dengan harapan informasi terkait penyelenggaraan pemilihan daerah dapat diketahui seluruh penyandang disabilitas yang ada di Kabupaten Pesisir Selatan. KPU Kabupaten Pesisir Selatan juga memerintahkan jajaran badan adhoc untuk dapat melakukan sosialisasi ke daerah-daerah yang terpencil dan sulit untuk diakses. Dalam hal pendataan pemilih, KPU Kabupaten Pesisir Selatan berusaha memastikan kelompok rentan, seperti warga binaan lapas, pasien rumah sakit, tenaga kesehatan, dan pekerja perkebunan sawit, terdaftar dalam daftar pemilih. Petugas KPPS juga diingatkan agar TPS yang dibuat ramah disabilitas dan dapat diakses pengguna kursi roda. Kendala di lapangan tentu masih ada, seperti keterbatasan lokasi TPS yang memadai atau masalah kepemilikan identitas kependudukan. Untuk mengatasi masalah identitas kependudukan, KPU Kabupaten Pesisir Selatan selalu berkoordinasi dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Sebagai upaya peningkatan fasilitasi bagi kelompok marginal dan rentan, KPU RI telah menetapkan pendidikan pemilih berkelanjutan sebagai program nasional yang wajib dilaksanakan di setiap kabupaten/kota. Pendidikan pemilih bagi kelompok ini bertujuan untuk memastikan pemilih memahami hak dan kewajiban politiknya, mampu menggunakan hak pilih secara mandiri, rahasia, dan tanpa intimidasi, serta memiliki aksesibilitas di TPS. Pendidikan ini juga menegaskan bahwa pemilih marginal adalah bagian penting dari proses demokrasi. KPU Kabupaten Pesisir Selatan juga berupaya terus berbenah untuk mengembangkan metode sosialisasi yang adaptif, seperti memperbanyak penyediaan materi audio bagi tunanetra serta peningkatan frekuensi kegiatan tatap muka di komunitas marjinal. Selain itu, KPU Kabupaten Pesisir Selatan juga bertekad untuk memastikan TPS pada pemilu berikutnya betul-betul dibuat pada tempat yang ramah disabilitas. Demokrasi tentu tidak boleh berhenti pada angka partisipasi pemilih semata. Demokrasi harus memberi ruang setara bagi seluruh warga negara, termasuk mereka yang berada di pinggiran sosial dan politik. Melalui pendidikan pemilih berkelanjutan berbasis regulasi, KPU Kabupaten Pesisir Selatan dengan sinergi bersama Pemerintah Daerah dan masyarakat tentu berharap pemilu mendatang akan benar-benar inklusif, adil, dan partisipatif. Pemilu adalah milik semua warga tanpa kecuali. Oleh karena itu, hak politik kelompok marginal dan rentan bukanlah belas kasih, melainkan perwujudan nyata amanat konstitusi. Kelompok marginal dan rentan memiliki peran penting dalam menentukan arah bangsa. Jangan pernah merasa terpinggirkan, karena suara kelompok marginal dan rentan sama berharganya dengan suara kelompok manapun. Gunakanlah hak pilih dengan penuh keyakinan, terlibatlah dalam setiap tahapan pemilu, dan beranilah menyuarakan kebutuhan akan akses yang setara. Partisipasi aktif Anda adalah wujud keberanian sekaligus kontribusi nyata untuk memperkuat demokrasi yang inklusif dan berkeadilan bagi semua.